Jumat, 20 Februari 2015



 Musik sebagai Simbol

Kehidupan manusia didasarkan pada simbol-simbol. Simbol tersebut berfungsi sebagai landasan bagi bahasa, yang memungkinkan kita untuk mewariskan pengetahuan budaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Simbol-simbol juga digunakan dalam agama, yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan penting mengenai makna kehidupan. Simbol juga sangat penting di bidang seni, yang menempati kedudukan sentral dalam lingkungan kehidupan kita dan dalam memelihara stabilitas emosional. Hanya manusia yang mampu membuat simbol-simbol kompleks yang terdapat dalam bahasa, agama, dan seni.
Simbol adalah istilah yang sulit untuk didefinisikan dengan jelas, karena simbol digunakan dengan cara yang berbeda. Definisi simbol yang digunakan secara luas dikemukakan oleh Charles S. Peirce (1960). Ia menganggap simbol hanya sebagai salah satu dari tiga jenis tanda. Indeks adalah suatu jenis tanda di mana terdapat suatu hubungan fisik antara tanda tersebut dan maknanya (referen). Misalnya, petir berfungsi sebagai indeks yang menunjukkan akan adanya badai. Jenis tanda yang kedua adalah ikon, yang ditandai dengan kemiripan antara ikon tersebut dan referennya. Dalam hal ini gemuruh bunyi drum yang menirukan suara badai merupakan sebuah ikon. Bila musik berfungsi sebagai sebuah ikon, hubungannya sering dinamakan ikonisitas. Peirce membatasi istilah “simbol” pada jenis tanda ketiga, di mana hubungan antara tanda dan referennya sama sekali tidak jelas. Bendera yang menandakan adanya badai di pantai merupakan simbol dalam pengertian ini. Makna sebagian besar kata dalam bahasa juga termasuk jenis simbol ini. Namun demikian, pandangan Peirce agak restriktif (terbatas) karena pandangan-pandangan yang terkenal mengenai simbol dan definisi yang digunakan dalam psikologi menganggap simbol sebagai sesuatu yang melambangkan sesuatu yang lain. Skema Peirce dapat digunakan dalam membedakan indeks dengan ikon; simbol dalam pemahamannya mengenai istilah tersebut dinyatakan sebagai “simbol yang tidak jelas”.1
Karena musik dapat menyampaikan makna mengenai berbagai hal lain, musik sering berfungsi sebagai simbol. Suatu definisi simbol yang sangat penting untuk membicarakan aspek-aspek simbolis musik adalah “benda, tindakan, konsep atau bentuk-bentuk bahasa yang secara samar melambangkan berbagai makna yang berbeda, memancing sentimen dan perasaan, dan mendorong manusia untuk bertindak” (Cohen, 1974: Kata Pengantar). Musik dimasukkan dalam definisi ini karena instrumen musik dan gelombang bunyi adalah benda, dan penciptaan musik adalah tindakan. Karena musik adalah suatu simbol penting, tingkah laku yang menciptakan musik dapat dianggap sebagai suatu bentuk tingkah laku simbolis. Kesamaran dalam makna musik disebabkan oleh fakta bahwa pertunjukan atau bagian musik yang sama bisa mengandung makna yang berbeda pada waktu yang sama. Berbagai jenis simbol yang mengandung beberapa makna pada waktu yang sama dinamakan simbol multivokalis (Turner, 1967).
Kesamaran simbol sangat penting karena kesamaran ini memungkinkan orang memanipulasi makna simbolis demi kepentingan mereka sendiri. Manipulasi ini sering berbentuk penyangkalan (repudiasi) pesan yang diungkapkan melalui bentuk-bentuk seni yang diakui secara umum. Kemungkinan praktek seperti ini, yang dinamakan repudiabilitas (Devereux, 1971: 204), memungkinkan pemain musik untuk mengekspresikan diri mereka sendiri, namun bila diperlukan, dapat menyangkal suatu makna yang mungkin menimbulkan ketidaknyamanan, rasa malu, atau bahkan pertentangan politik yang serius. Musik sering menambahkan unsur repudiabilitas pada lirik lagu dengan memungkinkan pemain musik untuk menyangkal keterlibatan dirinya dengan kata-kata dalam lirik lagu tersebut, dengan alasan sekedar tertarik menikmati nadanya. Misalnya, banyak lagu-lagu politik masyarakat Shona di Zimbabwe dapat dijelaskan dengan mudah menurut keyakinan-keyakinan tradisional mengenai singa atau burung. Lagu “Totamba nakashiri kamambo” secara harfiah berarti “kami bermain dengan burung kecil kepala suku”. Lagu ini tidak ada artinya sampai orang menyadari bahwa selama pemberontakan masyarakat Shona melawan penjajah Eropa pada tahun 1896, “burung kecil kepala suku” berarti media roh yang berpindah dari satu kepala suku ke kepala suku lain untuk mengkoordinir perjuangan (Ranger, 1967). Dalam konteks perjuangan kemerdekaan tahun 1970-an lagu tersebut memiliki makna yang sangat dalam, namun orang tidak mau memberikan penjelasan yang akurat kepada orang asing.
Walaupun musik sebagai suatu simbol diharapkan dapat menyampaikan makna, sebagai suatu bentuk ekspresi diri musik tersebut kadang-kadang gagal menyampaikan makna tersebut. Istilah “ekspresi” dan “komunikasi” tidak dapat disamakan, karena banyak orang menganggap kedua istilah tersebut sama. Ekspresi berarti bahwa pikiran atau perasaan telah dimasukkan ke dalam suatu jenis media; apakah pesan yang disampaikan difahami atau tidak oleh orang lain tidak mempengaruhi tindakan ekspresi tersebut. Komunikasi menyampaikan gagasan bahwa dua fihak dilibatkan, yaitu pengirim dan penerima, dan bahwa suatu jenis pesan disampaikan di antara mereka. Bila seniman, musisi, atau penari hanya mengutamakan pemberian bentuk pada perasaan mereka, mereka pada dasarnya sedang mengekspresikan diri mereka sendiri. Bila bentuk ekspresi tersebut tidak ada artinya bagi orang lain, hasilnya hanya terbatas pada ekspresi saja. Sebaliknya, bila bentuk ekspresi tersebut benar-benar mengandung makna bagi orang lain, hasilnya adalah ekspresi dan komunikasi. Kadang-kadang pesan yang difahami oleh penerima tidak sama dengan yang dimaksudkan oleh pengirim pesan, sehingga menimbulkan distorsi (gangguan) komunikasi. Karena simbol-simbol di dalam seni sangat beragam, pengirim mungkin memiliki sejumlah pesan, yang masing-masing bisa menghasilkan komunikasi bila difahami oleh penerima. Pesan bisa melibatkan gagasan maupun perasaan. Pesan atau informasi yang pada dasarnya merupakan gagasan atau konsep difahami berdasarkan kognisi; komunikasi perasaan adalah masalah afeksi.2
Makna dalam musik terdapat pada level kesadaran diskursif maupun praktis, dan juga pada level ketidaksadaran. Makna suatu bagian musik berada pada level kesadaran diskursif bila orang dapat menjelaskannya kepada orang lain. Sebaliknya, makna yang dihasilkan dari kesadaran praktis ditandai oleh tiadanya kesadaran. Kegagalan suatu masyarakat dalam mengungkapkan aspek-aspek makna tertentu dalam wacana tidak selalu menunjukkan tiadanya karakteristik makna tersebut. Seringkali satu-satunya cara untuk menentukan makna ini adalah penentuan makna yang dilakukan oleh pengamat dari luar, yang mampu menyimpulkan makna dari analisa tingkah laku di dalam kelompok masyarakat tersebut. Pengamat dari luar tersebut tidak memiliki asumsi yang sering mengaburkan pandangan partisipan suatu pertunjukan musik. Situasi ini agak mirip dengan peran tata bahasa dalam bahasa. Anak kecil berusia empat dan lima tahun dapat menggunakan suatu bahasa dengan baik, dan mengikuti aturan tata bahasa. Ketidakmampuan mereka mengungkapkan aturan tersebut tidak berarti bahwa aturan tersebut tidak ada.
Karakteristik penting lainnya dari simbolisme dalam musik adalah fakta bahwa makna dapat dikombinasikan sehingga makna dari beberapa simbol secara bersama-sama berbeda dengan makna masing-masing simbol. Kadang-kadang jenis simbolisme seperti ini terdapat pada level yang berbeda. Level yang paling sederhana adalah motif, yaitu suatu pola dasar melodi dan irama yang terjadi secara berulang di dalam suatu bagian musik yang lebih besar. Makna yang diberikan kepada motif terlihat jelas dalam Peter dan Srigala karya Prokofiev, di mana tema yang berbeda diberikan pada karakter yang berbeda oleh seorang narator. Tema-tema para tokoh tersebut kemudian dikombinasikan dengan musik ketika berlangsung arak-arakan seluruh binatang. Dengan demikian, motif yang berbeda dikombinasikan untuk menghasilkan simbolisme yang semakin kompleks.
Dalam beberapa tradisi musik lagu-lagu yang berbeda digabungkan untuk membentuk siklus lagu. Bentuk simbolisme ini terlihat dalam musik yang digunakan oleh masyarakat Aborijin Australia dalam upacara ritual yang berkaitan dengan mitos-mitos kuno. Mereka menggunakan siklus lagu untuk menceritakan perjalanan legenda kuno, di mana masing-masing lagu menggambarkan suatu perhentian dalalm perjalanan tersebut. Setiap lagu memiliki makna sendiri, tapi masing-masing lagu juga memberikan sumbangan bagi terbentuknya makna keseluruhan dari seluruh kegiatan tersebut. Lagu-lagu ini dikoordinasikan dengan bagian-bagian ritual saat perjalanan diceritakan kembali, seperti terlihat dalam uraian salah satu siklus:
Siklus lagu dimulai di Ngawantzi dekat Puncak Linnekar, sebuah anak sungai dari Sungai Ord, daerah dataran yang pernah disinggahi Abe. Dari sana anak sungai tersebut mengalir ke sebuah tempat yang dinamakan Palangayi dan kemudian menuju ke Inverway (daerah peternakan orang Eropa). Dari Inverway anak sungai tersebut mengalir menuju Danau Nongra, di mana mahluk halus memperhatikan pohon-pohon kayu darah dan menyanyi dengan tema mengenai pohon-pohon tersebut. Dari Danau Nongra Abe dan mahluk halus tersebut berjalan menuju Walumaninpa, sekitar tigapuluh mil di sebelah barat Puncak Hooker, dan di sana mahluk halus tersebut melihat awan-awan di kejauhan dan menyanyi dengan tema mengenai awan-awan tersebut. Dari sana mereka berjalan menuju Puncak Hooker, di mana mahluk halus tersebut melihat rangkaian hutan yang lebat di sepanjang puncak di bagian selatan pemukiman penduduk, dan menyanyi dengan tema mengenai hutan tersebut sampai ke Tipitipul. Mereka kemudian berjalan menuju terowongan sembilan belas mil dan menuju ke wakaRakaRa, sebuah daerah Kisaran Angin dekat terowongan tersebut yang termasuk dalam wilayah suku Burindji dan Mudbura. Di sana mahluk halus tersebut melihat sendiri seorang mahluk halus yang sudah mati ketika ia sedang memburu seekor goanna, mahluk itu tinggal tulang kerangkanya saja. Karena Abe sudah melihat ini maka mahluk halus tersebut mengajarinya lagu-lagu mengenai kejadian tersebut. (Wild, 1975: 56)
Bagaimana musik bekerja sebagai suatu jenis simbol menjadi lebih jelas dengan membedakan cara-cara musik menyampaikan makna. Bila makna dirumuskan secara sengaja di dalam musik oleh orang yang menciptakannya, hasilnya adalah makna denotatif. Karena disengaja, makna seperti ini biasanya jelas, yang berarti bahwa makna tersebut berada dalam level kesadaran diskursif para partisipan pertunjukan musik. Musik juga menyampaikan makna konotatif, yang disimpulkan oleh pendengar dari pengalaman dengan musik tersebut. Makna seperti ini sering merupakan hasil dari kesadaran praktis, walaupun tidak selalu demikian. Perbedaan antara makna denotatif dan konotatif tidak selalu jelas, tapi kesadaran mengenai kedua jenis makna tersebut memberikan suatu kerangka untuk membicarakan berbagai cara menyampaikan makna melalui musik. 
(kaemmer)